I. PENDAHULUAN
Kehidupan alam semesta merupakan karsa penciptaan yang merupakan sintesis antara cinta kasih, akal dan sistem nilai atau hukum serta integrasi antara aspek eksistensi rendah dan tinggi.
Proses perkembangan kehidupan alam semesta tidak mengeliminasi eksistensi rendah tetapi yang terjadi adalah proses transmutasi dari eksistensi rendah, baik secara evolusi maupun secara revolusi, menuju dan menjadi tingkat eksisitensi yang lebih tinggi. Proses yang demikian seharusnya menjadi acuan atau spirit manusia didalam mengaktualisasikan fitrahnya selaku wakil Tuhan di dunia.
Islam yang mempunyai makna harafiah berpasrah merupakan satu-satunya cara hidup untuk mencapai keselamatan dalam arti keseluruhan, yaitu manusia dan alam. Sikap berpasrah diri terhadap Karsa, Rasa, Cipta dan Kuasa Sang Pencipta akan terjadi apabila manusia konsisten mengikuti jejak-jejak perbuatan Tuhan (sunatullah) yang dapat dipahami sebagai kehidupan alam semesta yang harmonis dan seimbang. Aspek keseimbangan dan keharmonisan tersebut hendaknya menjadi spirit berkegiatan manusia selain harus selalu berorientasi pada proses transmutasi seperti tersebut diatas. Dengan kata lain, sikap berpasrah diri tersebut tidak dilaksanakan secara pasif, melainkan melalui proses pencapaian kesadaran diri ke arah yang lebih tinggi. Proses tersebut dilakukan secara konsisten dan kontinyu, untuk mencapai hakikat realita yang bersumber dan berproses dalam suatu sistem nilai yang merupakan manifestasi dari kehendak Allah, baik yang didalam maupun yang meliputi kehidupan alam semesta.
Kesediaan manusia untuk berperan sebagai wakil Tuhan di bumi, selain mempunyai arti bahwa manusia mendapat kepercayaan Tuhan untuk mengatur dan mengelola dunia, juga bertanggung-jawab atas terjadinya kerusakan-kerusakan yang dapat mengancam bukan saja keharmonisan tetapi juga kelestarian kehidupan alam semesta. Tugas tersebut merupakan kepercayaan maha berat yang mahluk-mahluk lain tidak sanggup memikulnya. Pelaksanaan pengaturan dan pengelolaan tersebut tidak bisa tidak harus merujuk kepada sistem pengetahuan yang secara lengkap telah tersusun secara sistimatis sebagai ayat-ayat yang ada didalam Al Qur’an.
Wahyu-wahyu yang disusun secara sistematis di dalam Al Qur’an bukan sekedar meliputi informasi-informasi yang bersifat historis normatif. Lebih dari itu, Al Qur’an merupakan sumber pengetahuan yang peranannya sangat penting dan mutlak bagi manusia di dalam usahanya mengaktualisasikan dirinya sebagai Wakil Tuhan di bumi. Selama ini konstruksi pemahaman Al Qur’an cenderung merujuk kepada warisan dan khasanah pemikiran masa lalu. Dengan kata lain, kaum muslimin menempatkan warisan historis sebagai referensi untuk membangun pemahaman terhadap wahyu. Hal yang demikian bukanlah salah, namun tidak mencukupi lagi. Untuk sekarang dan seterusnya diperlukan lebih dari sekedar pemahaman yang hanya bersifat normatif. Juga harus diupayakan suatu usaha untuk mentransendensikan Al Qur’an supaya pemahamannya tidak terbatasi oleh warisan-warisan historis normatif yang tersekat-sekat oleh ajaran-ajaran dan atau doktrin-doktrin dogmatis ataupun intepretasi yang bersifat supra subyektif. Ajaran atau interpretasi yang muncul ini sering tidak bisa didialogkan atau diajarkan kepada orang yang tidak (belum) pernah mengalami.
Al Qur’an harus dijadikan sumber informasi, sumber data-data atau sumber ilmu pengetahuan tentang kehidupan alam semesta. Hal tersebut merupakan postulat teologis dan sekaligus teoritis. Elaborasi pada konstruk-konstruk teoritis Al Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan perumusan-perumusan teoritis guna membangun perspektif Al Qur’an dalam memahami realita kehidupan. Apabila kita kembali melihat sistem pengetahuan Islam yang murni yakni Al Qur’an, sesungguhnya Islam mempunyai cara berfikir yang rasionalistis-empiris. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya banyak diintervensi bahkan kadang-kadang terkesan didominasi oleh budaya magis dan mistis sehingga diperlakukan sebagaimana layaknya gudang mantra. Oleh karena itu berkali-kali Al Qur’an menekankan arti penting penggunaan akal pikiran dan pencarian pengetahuan melalui observasi.
Penggunaan akal pikiran atau sikap rasionalistis memberikan kerangka pemikiran yang disiplin, kritis, sistimatis dan logis dengan logika deduktif sebagai sendi pengikatnya. Di pihak lain terdapat dunia empirik yang obyektif dan berorientasi kepada fakta sebagaimana adanya. Kesimpulan umum yang ditarik dari dunia empirik secara induktif merupakan batu ujian realitas dalam menerima atau menolak suatu kebenaran. Kebenaran keilmuan bukan saja merupakan kesimpulan rasional yang koheren dengan sistim pengetahuan yang berlaku, tetapi juga harus sesuai dengan kenyataan yang ada.
Penggabungan antara rasionalisme dengan empirisme inilah yang kemudian disebut sebagai metoda keilmuan. Metoda inilah yang membedakan antara ilmu dengan buah pikiran. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metoda keilmuan. Dengan demikian hakekat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut persyaratan-persyaratan keilmuan. Hal ini perlu diungkapkan agar kesadaran kita tergugah untuk tidak menempatkan wahyu atau ilmu pada struktur feodalisme terselubung yang akhirnya hanya menghasilkan fanatisme terhadap (faham-) individu ataupun kelompok. Namun satu hal yang jangan sampai dilupakan pada tahap mengaktualisasikan kebenaran rasional tersebut dalam kawasan empirik yang dibutuhkan bukan sekedar kebenaran rasional melainkan ketepatan dalam mengaktualisasikannya.
Sebab adanya perbedaan sistim nilai pada ruang yang berbeda merupakan fakta yang tidak bisa di abaikan. Proses penghayatan tersebut mutlak diperlukan karena kebenaran tersebut masih harus dan perlu diuji untuk memastikan ketepatan aplikasinya di dalam wilayah empiris.
Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan menjunjung tinggi kebenaran serta ketepatan pelaksanaannya. Penggunaan metoda keilmuan secara dinamis akan menghasilkan pengetahuan yang konsisten, sistimatis serta dapat diandalkan. Sebab, pengetahuan yang dihasilkan telah teruji secara sistimatis. Kebenaran keilmuan baru bisa dikatakan sah apabila pernyataan yang dibuat dalam rangka kegiatan keilmuan itu dapat diterima setelah melalui pengujian secara empirik yang pada hakekatnya merupakan wasit di dalam gimnastik berfikir.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Ilmuwan Albert Einstein, bahwa ilmu dimulai dari fakta dan diakhiri dengan fakta apapun juga teori yang disusun di antara mereka. Pernyataan tersebut sangat membantu dalam hal memahami wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad S.A.W. berupa perintah "Baca". Perintah tersebut pada dasarnya merupakan rangkaian aktivitas yang meliputi tindakan melihat, mengamati, mencermati, memahami dan menghayati serangkaian fakta atau fenomena yang ada. Fakta-fakta dan fenomena-fenomena ini selanjutnya digunakan untuk mempelajari sunatullah yang tertulis dan tersebar dalam segala peristiwa untuk kemudian diamalkan sebagai tindakan nyata dalam wilayah empirik. Sejak dimulainya aktivitas melihat sampai dengan aktivitas penghayatan merupakan tindakan yang bersifat rasional. Sedangkan aktivitas pengamalan merupakan tindakan empiris karena merupakan pengujian dalam memastikan kebenaran yang diperoleh pada tahapan tindakan rasionalistis.
Aktivitas yang terjadi didalam tahapan rasionalistis pada dasarnya adalah proses dialog atau dengan kata lain makna dari perintah "Baca" pada dasarnya merupakan proses dialogis antara "Pembaca" dengan "Penulis" sunatullah yang tersebar di segenap penjuru alam.
Dalam proses dialog tidak tertutup kemungkinan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang konkrit, riil dan kontekstual mengingat kehidupan manusia itu berkembang secara dinamis. Adanya pembakuan terhadap metoda dialog seperti yang selama ini banyak terjadi, merupakan pemasungan terhadap kehendak berfikir rasionalistis, kreatif dan dinamis. Sehingga, hasil dialog menjadi tidak realistis lagi pada saat dilakukan pengujian dalam dunia empirik.
Keterpisahan antara hasil dialog dengan realita dapat melahirkan sikap inferioriti komplek, ketidak percayaan diri, yang kemudian terlihat sebagai sikap defensif, sombong dan ketakutan yang pada saatnya menutup kemungkinan dibuatnya perbedaan antara gagasan dan realitas. Akhirnya, yang muncul adalah tipe manusia yang selalu ketinggalan atau bahkan gagal dalam usaha pencapaian karena adanya stagnasi pemahaman. Tipe-tipe manusia yang demikian cenderung untuk menjadi eksklusif ataupun ekstrim. Seseorang tidak akan menjadi kreatif apabila dia tidak menganggap penting atau perlu adanya konflik antara hasil pemikiran rasional dengan realita. Masalah yang akan selalu timbul adalah bagaimana menjadikan wahyu sebagai sumber informasi atau pengetahuan yang mampu mengatasi segala permasalahan kehidupan untuk mencapai keharmonisan dengan ruang dan waktu tertentu tanpa melupakan asal-usulnya yang suci dan tak terciptakan.
Rasionalitas manusia maupun dunia realita terus berkembang secara dinamis dan semakin komplek. Untuk itu dibutuhkan kesadaran untuk mengembangkan metoda dialog dan juga metoda keilmuan secara kontinyu dan konsisten. Peringatan-peringatan tentang pentingnya kontinyuitas pengembangan metoda dialog, secara tersirat dapat dilihat pada:
QS.2 Al Baqarah: 170; "Dan bila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah peraturan-peraturan yang telah diturunkan Allah!" Mereka menjawah: Tidak! kami hanya mau mengikuti apa-apa kebiasaan yang telah kami dapati dari nenek moyang kami. Apakah akan diikuti juga walaupun nenek moyang mereka ini tidak mengetahui suatu apapun juga, dan tidak pula mendapat petunjuk Tuhan?"
QS:2 Al Baqarah: 171; "Dan perumpamaan orang kafir itu, seperti binatang ternak yang patuh kepada penggembala yang memanggilnya, karena kebiasaan saja. Dia tidak mendengar apa-apa kecuali suara panggilan dan himbauan belaka, tanpa mengerti isi panggilan itu. Mereka tuli, bisu dan buta, karena mereka tidak mengerti".
QS.5 Al Ma’idah: 104; "Apabila dikatakan kepada mereka: "Turutlah apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur ‘an dan turut pulalah Rasul yang menyampaikannya". Mereka menjawah: "Cukuplah bagi kami menurutkan kebiasaan yang telah kami dapati dari nenek moyang kami". Apakah mereka akan turunkan juga walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa tentangsyariat dan tidak mendapat petunjuk kejalan kemaslahatan?"
QS.31 Luqman: 21; "Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah!" Mereka menjawab: "Tidak! Kami hanya akan mengikuti apa yang telah kami dapati dari para nenek moyang kami! Apakah mereka akan mengikuti juga sekalipun paran nenek moyang mereka itu dibawa terlibat oleh setan ke dalam siksa api Neraka?
Ayat-ayat peringatan tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Terhadap umatnya dituntut untuk selalu mengembangkan pola pemikiran ataupun metoda keilmuan di dalam usahanya menggali keilmuan yang terdapat di dalam Al Qur’an agar tidak terjadi stagnasi pemahaman yang selanjutnya berakibat pula pada macetnya perkembangan peradaban kehidupan umat Islam sendiri. Tindakan anti dialog yang dilakukan dalam bentuk pemasungan terhadap sikap-sikap kritis dan rasionalistis, merupakan pengingkaran dan sekaligus tidak menunjukkan rasa sukur terhadap anugerah Tuhan yang tidak diberikan kepada ciptaanNya yang manapun juga, yaitu kemampuan berkesadaran.
Kebebasan mengaktualisasikan diri sesuai dengan posisinya merupakan monopoli manusia yang diberikan Tuhan sesuai dengan posisi manusia sebagai wakil Tuhan. Kesadaran manusia sebagai wakil Tuhan merupakan kesadaran yang meliputi peran dan fungsinya sebagai mahluk bebas yang mampu menemukan esensi diri. Penempatan diri seseorang pada posisi dan proporsi dalam struktur realita akan mampu menempatkan dirinya sesuai dengan harkat dalam melaksanakan fungsi kemanusiaannya. Sedangkan sikap rasionalistis-empirik manusia pada hakekatnya merupakan refleksi kemanusiaan seorang wakil Tuhan. Merupakan suatu kemustahilan bagi seseorang yang tidak mau berfikir untuk mampu menunaikan tugasnya sebagai wakil Tuhan, yang mampu mengatur dan mengelola kelestarian alam semesta dan sekaligus meningkatkan harkat dan martabat manusia balk secara tehnis maupun moralitas dalam mengatasi permasalahan sosial serta ekologis. Berdasarkan hal-hal tersebut dan juga mengingat adanya faktor tanggung jawab sebagai konsekuensi logis dari faktor kebebasan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, maka sungguh tepat peringatan Allah kepada manusia seperti yang tertulis sebagai berikut:
QS.17 Al Israa’: 36; "Dan janganlah engkau turut apa-apa yang engkau tidak ada ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan ditanya".
Dan terhadap orang yang tidak mau berfikir Tuhan memberikan penilaiannya sebagaimana yang tertulis dalam ayat berikut:
QS.8 Al Anfaal: 22:"Sesungguhnya hewan yang paling buruk menurut pandangan Allah, adalah orang-orang yang pekak dan bisu, karena mereka tidak mengerti apa-apa”.
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad s.a.w. juga memberikan peringatan yang keras kepada kaum muslimin agar tidak merasa sudah tahu sehingga bertindak seperti keledai yang membawa-bawa kitab. Cita-cita Al Qur’an mengenai kehidupan manusia bersifat spiritual, yaitu untuk mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu, apapun kegiatan manusia di dunia ini tidak boleh terlepas dari tugasnya sebagai Wakil Tuhan di dunia yang harus mengatur dan mengelola dunia ini agar sesuai dengan kehendak-Nya.
Diletakkannya ilmu pengetahuan dalam posisi yang penting, merupakan penjelasan terhadap misi Islam yang paling besar mengenai manusia dan cita-cita kemanusiaan, yaitu pembebasan. Di dalam dunia modern, Islam harus mampu membebaskan manusia dari kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan dan hidup dalam alam absurditas. Sebab sejak jaman modern, yaitu sejak manusia mengalami revolusi pengembangan rasionalitasnya, manusia telah mampu membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu pemikiran mistis ataupun sistem nilai atau hukum yang memasung, gerak dan sangat membatasi kebebasannya. Namun ironisnya justru pada jaman modern seperti sekarang ini masih terdapat sebagian dari manusia yang belum dapat melepaskan diri dari belenggu lain yaitu belenggu yang dibuatnya untuk membelenggu pikirannya sendiri yang kemudian menghasilkan sikap pemujaan atau penyembahan terhadap diri ataupun kelompoknya sendiri.
Kehidupan manusia dan kemanusiaannya berkembang terus secara dinamis sehingga seluruh aspek kehidupan juga ikut berkembang menjadi semakin komplek.
Menghadapi kenyataan ini maka mutlak dibutuhkan suatu usaha untuk menyempurnakan metoda keilmuan yang telah ada secara terus menerus untuk mencari pengetahuan mengenai segi-segi yang belum tercakup dalam kegiatan keilmuan yang sudah ada. Hal ini mutlak penting sebab dalam ruang lingkup empiris-pun masih terdapat banyak sekali segi-segi kehidupan yang belum terjangkau oleh ilmu pengetahuan. Penjelajahan mengenai manusia dan kehidupannya masih berada pada tahap yang awal sekali. Mungkin setelah mereguk dengan puas keilmuan mengenai manusia dan kehidupannya, baik yang ada dalam Al Qur’an maupun yang ada di dunia empirik, akan menjadi semakin lebih baik lagi apabila kita selalu ingat akan peringatan Doktor Faust kepada mereka yang belajar tentang manusia dan kemanusiaannya: "Nah, si tolol yang malang, dengan segenap pengetahuanmu engkau tetaplah menjadi si goblok seperti sebelumnya…"
sumber; http://msfq.blogsome.com
Read more...